Kabar Jatim Merupakan Media Online yang Memberikan Informasi Teraktual dan Terkini yang Terjadi di Indonesia Terkhusus Provinsi Jawa Timur.

Politik Ekologi Wadas dan Hilangnya Deliberasi Akar Rumput

 

kabarjatim.eu.orgPersoalan penolakan warga terhadap rencana pembangunan pemerintah muncul kembali. Kasus penolakan pembangunan Bendungan Beres di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah menjadi satu dari sekian realitas bahwa ada proses kebijakan politik yang tidak melalui mekanisme deliberasi.



Pembangunan yang masuk dalam salah satu Proyek Strategis Nasional melalui Perpres No 109 Tahun 2020 itu memang berorientasi pada upaya alih fungsi lahan secara masif. Warga menolak karena lahan hutan yang selama ini menjadi ladang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari warga setempat akan dialihfungsikan menjadi bendungan tertinggi dengan mengeksplorasi pertambangan batu andesit.



Kasus ini seakan melempar mundur pada sejarah pembangunan Waduk Kedung Ombo (1985). Ada pola dan respons yang sama terkait pembangunan tersebut. Pola pembangunan yang murni bersifat kebijakan pusat (top down). Penolakan warga terhadap pembangunan direspons dengan tindakan represif aparat keamanan.


Dikutip dari berbagai media berita, sejak Senin (7/02) tindakan represif berlangsung secara sistematis diawali dengan ribuan aparat kepolisian mendirikan tenda di Kaliboto, Kecamatan Bener, Purworejo. Malamnya dilakukan pemadaman listrik dan instabilitas jaringan internet di desa Wadas. Keesokannya, pada pagi hari terjadi penangkapan oleh aparat kepolisan terhadap salah seorang warga desa Wadas saat sedang makan di warung yang berlokasi di dekat pendirian tenda tersebut.



Berlanjut ribuan polisi dengan senjata lengkap dan anjing pelacak mulai menggeruduk desa Wadas merobek berbagai atribut penolakan warga, penangkapan paksa puluhan warga tanpa alasan yang jelas, pengepungan warga yang sedang mujahadah di masjid, serta merusak instrumen vital perekonomian warga seperti peralatan membuat besek.



Deliberasi Akar Rumput


Mengapa pembangunan dengan skema top-down sering berujung konflik? Karena hilangnya mekanisme dan proses dialog yang benar-benar melibatkan masyarakat "akar rumput". Kasus di Wadas membuka mata kita bahwa suprastruktur politik tidak seiring berjalan dengan infrastruktur politik.



Kebijakan Presiden Joko Widodo yang kemudian disetujui oleh Gubernur Jawa Tengah tidak diiringi dengan basis dukungan dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Ada ruang hampa di antara dua fondasi sistem politik demokrasi tersebut yang seharusnya diisi oleh proses politik deliberasi. Deliberasi yang menyentuh pada keterbukaan dan partisipasi suara warga yang secara langsung bersinggungan dengan objek pembangunan.



Proses deliberasi akar rumput dapat diprakarsai oleh perangkat desa dalam memberi ruang yang seimbang antarwarga dalam mengkalkulasi secara rasional dan terbuka sehingga terbangun diskursus yang jernih. Sampai kemudian melibatkan aktor-aktor yang berkaitan mulai dari elemen NGO (non-government organization), media, dinas terkait, dan kelompok akademisi.



Simpulan dari diskursus tersebut menjadi sebuah narasi warga yang patut menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan. Inilah yang seringkali terabaikan; mekanisme deliberasi hanya bersifat prosedural-formalistis yang melibatkan pemangku kebijakan formil di satu sisi (partisipatoris minimal), di lain sisi tidak adanya transparansi proses tersebut secara luas kepada warga.


Padahal secara sosio-kultural, warga desa sudah sangat terbiasa dengan tradisi musyawarah urun rembug desa. Persoalan-persoalan desa diselesaikan melalui dialog secara mufakat. Hal ini tentu akan semakin ditunjang di era digitalisasi sekarang; banyak sekali instrumen yang dapat digunakan dalam membangun ruang partisipasi dan transparansi secara masif.



Politik Ekologi



Di samping nihilnya mekanisme dan proses deliberasi akar rumput, pendekatan pembangunan masih bersifat tunggal yaitu paradigma ekonomi. Dalam rumusan SDG's jelas bahwa pembangunan harus bertumpu dan berkelindan pada tiga matra yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan (ekologi).



Pembangunan bendungan yang dilakukan dengan cara penambangan batu andesit secara geografis akan berpotensi menambah risiko kerawanan longsor karena hilangnya daya serap tanah terhadap air. Termasuk sawah, ladang perkebunan, dan ladang pertanian warga yang telah lama menjadi sumber kehidupan akan terancam hilang.



Kondisi ini jelas mengingatkan pada alih fungsi lahan persawahan menjadi eksplorasi migas di wilayah Kecamatan Jenu, Tuban. Kondisi yang anomali ketika awalnya warga menyetujui dengan kompensasi rupiah yang diterima, namun tidak sampai lama ada penyesalan karena telah kehilangan mata pencaharian.



Paradigma ekologi menjadi sangat penting bahkan telah menjadi isu global menyangkut perubahan iklim. Ekologi menyangkut relasi antara manusia dan lingkungannya. Dalam kacamata politik, ekologi adalah soal kontestasi kekuasaan dalam tata kelola lingkungan dengan melibatkan para aktor, institusi, kelompok dan identitas tertentu dari aset materi sumber daya alam.



Escobar (2006) sendiri menjelaskan bahwa persoalan ekologi politik menyangkut hubungan antara perbedaan dan kesamaan akses dalam konflik distribusi ekonomi, ekologi, dan budaya. Terdapat relasi kuasa antaraktor, yang dominan di satu sisi, termarjinalkan di lain sisi.



Inilah yang terjadi dalam kasus-kasus konflik agraria secara umum, dan kasus di Wadas semakin menguatkan bahwa disparitas relasi kuasa antara negara, masyarakat, dan pasar. Pandangan politik ekologi bahwa pola hubungan manusia dengan lingkungannya bukanlah persoalan kepadatan penduduk, tetapi lebih disebabkan ketidakmerataan (inequality) dan faktor tekanan kekuasaan.



Kembali ke persoalan di atas, bahwa tindakan teror yang sistematis oleh ribuan aparat kepolisian terhadap warga di era demokrasi saat ini jelas sangat mencoreng dan mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pembangunan dengan dalih apapun jika disertai ancaman kepada warga jelas meruntuhkan legitimasi publik terhadap pemerintah.



Pembangunan di era demokrasi seharusnya sudah menempatkan warga sebagai yang berdaulat. Daulat warga pada tanah mengandung makna berangkat dari filosofi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya warga yang bertumpu pada ekologi secara turun-temurun.



Mekanisme deliberasi akar rumput adalah upaya untuk menempatkan suara warga sebagai entitas politik yang murni. Serta, pembangunan yang berorientasi pada ekologi haruslah sebagai lokus primer. Pemerintah yang lahir dan hidup di era demokrasi harus paham dan bertindak secara demokratis. (hsn)


Baca Juga
Lebih baru Lebih lama
close